The days for rukia kuciki part 1
Aku
tak bisa memahami semua ini , semakin aku mencoba untuk memahami semakin sulit untuk dipahami . Ini seperti sebuah kata yang tersembuyi dalam gerakan, lebih
mudah dimengerti untuk seorang
tunawicara. Tunawicara?, aku mengenal
beberapa orang dari mereka tapi gerakan
ini terasa sangat asing, kata tersembunyi?. Hah,,, ku tarik rambutku kencang, kata tersembuyi-gerakan-tunawicara,
aku hubungkan dalam satu garis tapi terlalu memaksa, ah biarlah ini tetap
menjadi misteri. Entah sudah berapa kali wanita setengah baya itu mengeluarkan
butiran hitam (lendir kering) dari dalam hidungnya, entah sudah berapa besar
gumpalan yang di bentuk dari butiran-butiran itu menempel di samping kursinya. Gerakan yang dilakukan berulangkali dan menjadi misteri untuk sekian
kalinya.
P15
(senen-pasarminggu) berjalan dengan
hati-hatinya, entah berapa lama waktu yang diperlukan untuk tiba diterminal
senen. Asap-asap kendaraan dan teriknya siang ini menambah suasana lebih
seperti disauna. Mungkin itu yang memacu wanita setengah baya kembali
mengeluarkan butiran hitam didalam hidungnya. Ah? Kata
tersembunyi-gerakan-tunawicara-macet-asap kendaran-terik-butiran hitam, aku
hampir meloncat kegirangan andai saja pria disamping tak menahanku. Tak ada kata yang tersembunyi, bukan gerakan
yang mengandung arti, ini semua merupakan reaksi dari rangsangan luar, aku
mengerti sekarang . Masih ada satu hal yang tak ku pahami, kenapa dia meletakkan
butiran itu tepat disampingnya?.
Entah darimana datangnya, seorang pria meloncat masuk kedalam, nafasnya memburu,
keringat membasahi tepat di ketiaknya, dan tak menunggu lama dia mendaratkan letihnya
di samping wanita setengah baya. Sedetik kemudian dia mengangkat tangannya dan
mengamati gumpalan hitam yang menempel di telapak tangannya. Membutuhkan waktu
lebih dari lima menit bagi pria itu untuk menyadari apa yang menempel di telapak tangannya,
dengan gerakan lincah hampir sama dengan satu kedipan mata dia berhasil
memindahkannya kebawah kakinya.
“Mau
kemana mas?”,Tanya wanita setengah baya dengan nada penuh perhatian.
“Ke
Passer Baroe bu”,jawab pria sedikit menahan kesal ,mungkin dia sudah menyadari
asal dari gumpalan hitam.
“Hati-hati
diPasser Baroe banyak copet”, ada rasa bersalah yang terbaca dalam mata
senjanya.
“Oh
iya bu, makasih”, sedikit dipaksakan pria itu tersenyum.
“Mau
tisu mas?”, seraya mengeluarkan tissue dari dalam handbag dan menyodorkannya pada pria itu. Sepertinya wanita paruh
baya mengerti apa yang dirasakan pria disampingnya, dan merasa sangat bersalah.
“Ya,
makasih bu”, dengan cepat dia mengambil tisu dan mengelap telapak tangannya.
Selanjutnya tak ada percakapan lagi.
Tepat
1 jam 25 menit 39 detik untuk tiba di terminal senen, 1 jam 10 menit telat
dari waktu yang seharusnya. Terminal
Senen adalah terminal yang terletak disenen. Dulu terminal ini hanya dibuka
pada hari Senin, itulah mengapa orang betawi menyebutnya terminal senen (orang
betawi kental huruf e nya, contoh: iya di panggil iye), tapi dikarenakan dampak
dari terminal yang hanya dibuka pada hari senin sangat besar (P15 jadi ngetem
di Bundaran Hi), maka terminal Senen dibuka setiap hari hingga sekarang.
Aku
melangkah keluar terminal menyusuri trotoar
yang disampingnya berderet kios-kios pedagang. Kupercepat langkahku,
berharap tak telat dihari pertama.
Butuh
waktu hampir 30 menit untuk tiba di kampus, kampus yang tak besar tapi cukup
untuk menampung 14 kelas termasuk 1 lab computer yang disusun bertumpuk empat
lantai, setiap lantai terdiri dari tiga sampai empat kelas dan halamannya hanya
bisa menampung 300 motor jika satu yang lain menumpuk satu yang lainnya. Cukup
ramai di hari pertama, tapi tak ada satupun yang menarik perhatian, semua
terlihat biasa dan bodoh. Kelas pertamaku terletak di lantai tiga diantara tiga
kelas lainnya yang berderet, sekitar 30
orang anak duduk dilantai entah apa yang mereka lakukan, mereka tampaknya tak
begitu akrab, hanya sekedar senyum dan sapa yang dipaksakan. Satu menit
kemudian seorang pria yang jauh lebih tua dari yang lainnya muncul dari arah
belakang, melewatiku yang masih berdiri mengatur nafas, langkahnya menunjukan
keterlambatannya.
Dia
berdiri tepat didepan pintu kelas dan merogoh sakunya mengeluarkan kunci kelas.
Tubuh tingginya membungkuk sedikit untuk memasukan kunci. Agak susah bagi pria
itu untuk memutar kunci yang sudah berada dalam lubangnya, satu menit dua menit
berlalu tapi kunci sedikitpun tak mau
berputar. Tangan kirinya menarik gagang pintu dan mengangkatnya keatas kemudian
digoyang-goyangkan, sedangkan tangan kanannya berusaha memutar kunci yang masih
tak berputar. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Satu menit kemudian dia
menoleh kebelakang.
“Ada
yang bisa bantu?”, Tanya pria itu menunjukan keputusasaanya. Salah seorang dari
anak yang menunggu dengan perasaan cemas maju, tubuhnya cukup tinggi untuk
ukuran anak 18 tahun, ototnya menunjukan
dia sering berolahraga, semua orang dapat mengetahui dia atlet taekwondo, bukan
karena postur tubuh atau kharisma angker yang terpancar darinya tapi karena
kaos yang di pakainya bertuliskan “GWE ATLET TAEKWONDO, SENGGOL DIKIT GWE
TENDANG”, ditulis dengan ARIAL BLACK 100 menutupi seluruh bagian kaos depan dan
belakang.
“kuncinya
macet ya pak?”, tanya si atlet taekwondo dengan suara yang membuat 30 anak termasuk aku terdiam. Tak ada jawaban
dari pria yang di panggil bapak, hanya terdiam dan mengamati sipemilik suara.
Suara yang tak pantas untuk postur tubuhnya, mungkin lebih pantas untuk anak
lima tahun yang terserang batuk seratus hari, begitu asing ditelinga. Tanpa
menunggu jawaban, sipemilik suara
mengangkat kakinya dan dengan sekali tendang pintupun terbuka. Tak ada komentar
dari yang lain atas apa yang dilakukannya, semuanya masih dalam keanehan yang begitu dalam, terdiam dan mengamati sosok
pemilik suara. Mugkin lima menit setelah si pemilik suara masuk dan duduk di
bangku belakang, yang lain masuk mengikutinya dengan tertib tanpa sepatah
katapun, keanehan berakhir menjadi
kengerian.
“Inilah
azab tuhan, ya Tuhan ampunillah kami, janganlah engkau marah dan mengutuk kami
seperti apa yang kau lakukan padanya”, tak terucap tapi tersembunyi dalam hati
masing-masing.
“Selamat
datang siswa baru, ini akan menjadi hari pertama dan awal hidup kalian yang
baru. Saya dosen Pembingbing Akademik kalian, nama saya Arankaru, mungkin terdengar sedikit aneh tapi inilah nama yang
diberikan mendiang ibu saya. Nama yang diambil dari salah satu manga favorit
ibu saya, Bleach. Arankaru adalah monster yang membuat tokoh utama kesulitan
dan berkembang menjadi lebih kuat, begitu pula dengan saya. Kalian adalah tokoh
utama, dan saya adalah monsternya, saya akan membuat kalian kesulitan. Dengan
kesulitan itulah kaliah akan berkembang dan menjadi diri kalian yang baru ,
yang lebih kuat dan mempesona . Ada pertanyaan?”
“Bapak
tinggal dimana?, sudah berkeluarga apa belum?, dulu sekolah dimana?”, Tanya
yang lain hampir bersamaan.
“Saya
tinggal di kebon kacang di sekitar Tanah Abang, alhamdulillah bapak sudah
berkeluarga, saya memiliki tiga orang anak, tapi anak pertama meninggal karena
wasir, dulu bapak sekolah di kampus ini juga”, ada sedikit tekanan ketika dia
mengatakan anaknya meninggal karena wasir.
“Selanjutnya
kalian perkenalkan diri kalian masing-masing, dimulai dari kamu”, pak Arankaru menunjuk
seorang wanita cukup cantik yang duduk di bangku pojok barisan paling depan.
Wanita itu berdiri dan memperkenalkan dirinya, diikuti wanita yang duduk
disampingnya dan seterusnya. Tak ada
yang menarik perhatianku, semuanya sama tak penting untuk di perhatikan. Dan
aku tak perlu mengenal mereka, aku hanya perlu belajar dan menjadi lebih pintar.
Namaku Rukia Kuciki, bukan nama jepang tapi
nama tradisional yang di ambil dari kata Rukiah (pengobatan tradisional islami
dari gangguan iblis atau sejenisnya) dan Ciki (makanan kesukaan ibuku). Sudah satu
minggu aku tinggal di Jakarta setelah lulus dari Sma ternama di Rangkasbitung
kampung halamanku. Tinggal di kostan yang tak cukup besar tapi cukup untuk
menampung barang-barangku yang tak begitu banyak, kostan yang terpisah jauh
dari Ibu kost dan hanya ada satu kamar yaitu kamarku.